TVRI dalam Sentuhan Helmy

AGAK telat saya tahu kalau Helmy Yahya menjabat Dirut TVRI. Awal-awal disebut Helmy masuk TVRI, ada netizen yang bilang itu hal tepat. Walau, tentu berat. Berat karena orang kadung jarang nonton TVRI. Lalu apa langkah Helmy agar orang mau melirik TVRI di saat pemirsa telanjur menganggap acara-acara TVRI kurang greng di zaman now, terkesan ketinggalan dan seabreg stigma kurang positif lainnya.

Helmy, sebagai Raja Kuis dan Raja Reality Show, mampukah menyulap saluran televisi tertua di negeri ini kembali digandrungi?

Mengubah wajah kurang menarik menjadi terlihat sedap dipandang tentu butuh langkah dan modal besar. TVRI sebagai saluran yang menjangkau seluruh pelosok tanah air sudah bisa dibilang salah satu modalnya telah tercukupi. Ingat, itu hanya salah satu. Karena sebagai media penyiaran, konten adalah juga terbilang sebagai hal tak kalah penting. Konten yang bagus hanya bisa lahir dari kreatifitas SDM-nya. SDM yang kurang bisa membaca apa dan bagaimana kemauan dan menu yang diinginkan pemirsa, sepertinya relatif kurang cocok bergelut di bidang penyiaran.

Oh, tidak. Saya sedang tidak bilang orang-orang di TVRI tidak kreatif. Tidak. Namun perlu ada ‘masinis’ yang mampu membawa gerbong besar TVRI bergerak lincah dan berwajah kekinian sekaligus kedisinian. Dan betul, di pundak Helmy, sebagai sang masinis,  asa ini ditimpakan.

Sejauh ini, (tolong dikoreksi kalau saya keliru) telah terlihat wajah TVRI hasil sentuhan Helmy. Dengan tagline ‘kami kembali’, saya lihat ada upaya untuk membangkitkan kembali kejayaan TVRI. Walau, seperti yang saya bilang di awal tulisan ini, iti adalah bukan hal ringan. Karena kalau dulu TVRI berjaya karena memang belum ada musuhnya, kini, sekian banyak media penyiaran swasta dengan modal besar dan SDM muda nan penuh kreatifitas, adalah lawan tangguh yang tentu sulit untuk dikalahkan.

Betul, sebagai LPP, TVRI tak bisa dihadapkan secara begitu saja dengan televisi swasta yang orientasinya tentu adalah mengejar ‘fulus’ alias pendapatan. Ada tanggung jawab besar nan mulia yang diemban televisi saluran pemersatu bangsa ini.

Dunia Dalam Berita, Ria Jenaka, serial Oshin adalah sedikit contoh TVRI di tangan Helmy sedang  berkehendak mengulang masa keemasannya. Selain itu, ada Kuis Siapa Berani (yang siapapun tahu kuis itu dulu pernah begitu disuka pemirsa saat selalu live tiap pagi di Indosiar) yang kini tayang di TVRI saat prime time.

Yang juga menjadi catatan saya, kalau Helmy mengembalikan kejayaan TVRI dengan lebih banyak menayang ulang program lama (walau dengan kemasan baru) itu sama halnya dengan membidik penonton lama yang dulu pernah nonton serial Oshin, misalnya. Lalu pemirsa milenial, disuguhi apa dong?

Ohiya, ada Ria Jenaka Milenial ya. Namun jangan-jangan generasi milenial memang kurang suka nonton tivi, dan malah lebih asyik dengan gadgetnya.

Entahlah.

Ngawinin Desi dan Ninin

SETELAH sempat beberapa saat nongol di Ninmedia, channel milik MNC grup saat ini kembali zonk di Chinasat-11. Ya, Anda benar; kecuali kanal I-NewsTV. Padahal, kalau RCTI, MNCTV dan GlobalTV ada di Ninmedia, wih, sudah termasuk komplit channel TV nasionalnya. Tetapi begitulah MNC grup, jangankan yang gratisan alias FTA, pada saluran televisi berbayar (selain milik Hary Tanoe sendiri) saja ia juga tidak ada. Kesannya, channel-channel tersebut memang dibuat sebagai sesuatu yang eksklusif dan hanya ada di jaringan MNC Media. Ya, sekali lagi Anda betul; selain yang di satelit Palapa-D tentu saja. Ohya, Anda kembali benar; selain yang di SES-9 alias TVDesa.

Dengan demikian, bila sudah lock satelit Chinasat-11 (Ninmedia) pada 98.0ºE dan ingin menonton tayangan RCTI, MNCTV dan GlobalTV, tinggal tambah satu LNB Ku-band lagi untuk lock satelit SES-9 di posisi 108.2*E.

ngawinin-desi-dan-ninin

Sepiring berdua; Chinasat-11 dan SES-9 (Foto: Koleksi Pribadi)

Sebagai pemula, awalnya saya juga kesulitan untuk tracking SES-9, tetapi setelah mencoba beberapa kali, akhirnya dapat juga ngawinin Si Desi (sebutan untuk TVDesa) dengan si Ninin (julukan Ninmedia) dalam satu dish.

Karena sinyal dari transponder 11026 V 20200 milik si Desi ini relatif pelit, awalnya saya masukin TP 11569 V 20000 milik Indovision (?). Sinyalnya lumayan luber sehingga gampang dicari. Ohya, saya menggunakan satfinder untuk ritual ini, tetapi, dengan menggunakan reciever dan pesawat televisi juga boleh kok. Yang penting bisa tracking, dan jangan lupa, karena sasaran tembaknya bermain di Ku-band, settingnya kudu yang Universal.. Nah, bila TP 11569 V 20000 sudah bisa dikunci, biasanya TP-nya si Desi juga ikutan nempel. Tinggal di-blind scan atau bisa juga dengan memasukkan TP secara manual. Usahakan proses mencari si Desi ini di kala cuaca cerah, karena kalau cuaca mendung, si Desi sering malu-malu menampakkan batang sinyalnya.

Maaf, saya tidak mengukur berapa centimeter jarak LNB antara Chinasat-11 dan SES-9. Lha wong dalam mencari tadi saya gerakkan LNB secara pelan-pelan pakai tangan. Nah, setelah batang sinyal muncul, baru deh si LNB saya pasang secara lebih kuat. Ohya, kalau dalam foto tampak LNB untuk si Desi saya buatkan tiang tersendiri dari pipa PVC, itu hanya supaya lebih gampang saja dan relatif tidak mengganggu tiang utama yang sudah ditempati LNB si Ninin.

Belum banyak sih channel di SES-9 ini. Dari yang belum banyak itu, dengan adanya si RCTI, MNCTV dan GlobalTV, paling tidak (mumpung masih FTA) bisa melengkapi koleksi saluran yang sudah ada di Nenmedia. *****

Liput Demo 4-11, Reporter MetroTV tak Berseragam

DALAM sebuah tayangan yang mengulas lahirnya televisi berita pertama di negeri ini (baca: MetroTV), Andy F. Noya bercerita, “Kita semua sempat tertawa ketika Pak Surya bilang, kita harus pakai seragam.”

Ya, saat itu, kru televisi yang mengenakan seragam hanyalah TVRI. Dan ketika, sebagai televisi swasta harus juga berseragam, dipahami sebagai sebuah hal yang gimanaaa gitu. Tetapi titah Pak Surya Paloh harus dijalankan. Semua kru harus berseragam. Belakangan, masih menurut Andy, kru TV swasta berseragam sudah menjadi hal lumrah. Dan, yang mengawali adalah Metro TV.

Sekarang TV berita bukan hanya MetroTV. Ada KompasTV, ada tvOne, ada I-News TV ada pula CNN Indonesia. Ohya, sekalipun di sini CNN Indonesia satu payung dengan TransMedia yang punya seragam kebesaran berwarna hitam, kru CNN Indonesia dalam menjalankan tugas tidak mengenakan uniform. Mereka bisa dikenali selain dari logo yang terdapat di mikroponnya, adalah juga gelang berwarna merah bertuliskan CNN Indonesia yang dikenakan para krunya, dan tentu saja  lewat ID Card yang sering dikalungkan.

Dengan sekian banyak saluran televisi berita yang ada, ketika ada peristiwa, kita bisa rasakan betapa channel-channel berita itu saling berusaha tampil sebagai yang pertama, yang unggul dalam menyajikan kepada pemirsa. Teknologi dan SDM adalah andalannya. Membeli perangkat yang terbaik secara teknologi, diterapkan pula dalam ‘membeli’ SDM yang dipandang mumpuni. Sehingga, tak heran –atas nama kekuatan modal– orang-orang ‘unggul’ yang sudah kita kenal di sebuah stasiun televisi, di saat lain bisa didapati pada boyongan ke stasiun televisi berita baru yang punya amunisi uang berlipat ganda.

Selain keunggulan-keunggulan tersebut, yang tak boleh dilupakan, jualan yang bisa dirasakan oleh pemirsa adalah ‘seberapa berimbang berita yang mereka sajikan’. Orang sudah tidak bodoh lagi; dengan sejumlah media televisi yang dimiliki oleh polisi, mengharap berita yang disuguhkan 100% independen adalah sebuah kesia-siaan.

Kembali ke soal seragam yang dikenakan kru televisi;
dalam meliput kegiatan demo besar di Jakarta 4 November kemarin, saya perhatikan, reporter MetroTV malah tidak mengenakan. Ada apa? Bukankah MetroTV adalah televisi berita pertama di negeri ini yang mewajibkan kru-nya mengenakan seragam?

Rifai Pamone, sebagaimana reporter lain yang biasanya selalu mengenakan seragam keberasaran berwarna biru, malah mengenakan baju biasa dengan mikropon yang tidak ada logonya. Yang masih mengenakan seragam saat meliput demo itu adalah reporter kawakan yang sering ditugaskan ke arena konflik; Desi Fitriani.

Apakah ini semacam ketakutan pihak MetroTV dari pemberitaannya yang dipahami sebagian pemirsa (dan peserta demo) sebagai media yang sering ‘memihak’ Ahok? Sehingga muncul ketakutan akan terjadi apa-apa kepada para reporter yang bertugas di lapangan? Bila memang iya, pesan dari itu adalah jelas; jangan ‘memainkan’ berita. *****

Memindah Antena Parabola

 

Jaring NinMedia pada jaring 1SEORANG  kenalan, pekerjaannya tukang bangunan dia, bercerita pernah ketika merenovasi sebuah rumah harus memindah letak antena parabola. Nah, tanpa dasar pengetahuan tentang pointing antena, setelah dipindah ke tempat yang ditentukan, eh semua channel malah mak cling: hilang. Ya jelaslah, bukankah ketika posisi dish berubah, jangankan satu centimeter, setengahnya pun akan berpengaruh ke penangkapan sinyal.

 

Sebenarnya, secara prinsip, memindah antena parabola dengan memasang baru itu relatif tidak jauh beda. Yakni harus memenuhi kaidah-kaidah baku. Antara lain, tahu letak satelit yang hendak dituju, tidak terhalang bangunan atau benda padat lain, dan tiang harus tegak lurus. Itu hal dasar. Walau, ada kalanya, karena pengalaman, ada teknisi yang walau tiang penyangga antena tidak tegak lurus bisa juga pointing. Tetapi, kalau saya yang amatiran ini, posisi tegak lurus itu hal mutlak. Namanya juga newbie, bawaannya ingin sesuai pakem melulu.

 

Juga karena sedang direnovasi, antena parabola saya yang selama ini saya letakkan di dak atap rumah, harus saya pindah ke tempat lain agar tidak menghalangi aktifitas para tukang yang sedang membuat kamar di lantai dua. Seperti sudah pernah saya posting, antena jaring saya itu berukuran 6 feet merek Paramount dengan empat LNB (Palapa-D, Telkom-1, Asiasat-7 dan Chinasat-11).

nin

Dish saya pada posisi sementara, di depan rumah, di atas pohon beleimbing yang saya kepras..

 

Demi hal tersebut, saya harus mengorbankan dengan memapras pohon belimbing di depan teras rumah. Tidak sampai memotong total sih, karena nanti, kalau lantai dua sudah jadi, si Paramount saya itu akan saya naikkan lagi. Tadinya saya berpikir akan membeli tiang besi ke tukang rongsok setinggi sekitar dua setengah meter, karena tiang yang biasa saya pakai di dak rumah itu hanya pendek sekali. Padahal kalau ditaruh di depan rumah kan harus agak tinggi, agar LNB-nya tidak diutak-atik anak-anak kecil teman-teman si bungsu yang suka bermain di halaman rumah saya. Tetapi saya punya ide agar irit. Yakni, dengan hanya memakai tiang dari kayu, dengan bagian atas yang saya kasih pipa PVC ukuran 2”, yang celakanya; ternyata saat saya masuki lubang tiang mounting susah sekali. Tak bisa mak bles masuk sesuai harapan, tetapi hanya sebagiannya saja. Saya pikir segitu pun tak apa-apalah. Yang penting gak gampang goyang, yang penting sudah relatif kuat.

 

Tidak sendiri sih waktu memindahkannya. Karena si Paramount itu saya pindah secara utuh; tidak melepas LNB, tidak melepas tiang fokus. Dengan dibantu seorang tetangga, akhirnya si jamur saya turun takhta; dari yang tadinya di atas dak, menjadi di depan rumah.

 

Setelah dipindah, tentu saja pekerjaan belum selesai: saatnya cek sinyal. Apakah hilang, ataukah tinggal? Untuk ritual ini saya sangat terbantu dengan jimat sakti bernama satfinder. Dengannya, acara tracking menjadi tak perlu bawa-bawa reciever dan tv portable. Awalnya beberapa TP di satelit yang saya koleksi sempat terpantau zonk. Tetapi setelah saya goyang dumang beberapa saat, buzzer pada satfinder menjerit; batang signal terpantau sudah. Tinggal memaksimalkan saya.

 

Syukurlah, setalah diutak-atik sebentar, semua channel masih terpantau aman. Walau masih belum seperti saat di dak atap, CNN Indonesia yang biasanya anteng di 75%, kini agak turun sedikit dari angka itu tetapi yang penting semua tetap saja cling. Termasuk channel SpaceToon kesukaan si bungsu, Prambors Channel kegemaran si sulung dan antv tempat film nehi-nehi India favorit emaknya anak-anak. Celakanya (atau untungnya), belakangan ini malah saya yang kurang suka nonton tivi, dan hanya demen utak-atik dish-nya saja. Hehe...*****

Menjaring Ninmedia Pakai Dish Jaring

Pasang di jaring malam2

Tracking malam hari itu enaknya gak panas. Hehe…


ADA
lagu lama dari Rhoma Irama yang lamat-lamat masih saya ingat. Kurang lebih bunyi syairnya begini: ..♪♫ apa artinya malam minggu, bagi orang yang tidak mampu, mau ke pesta tak beruang, akhirnya nongkrong di pinggir jalan…♪♫.

Nongkrong di pinggir jalan malam-malam, ah sudah bisa masuk angin, kurang bermanfaat pula. Malam minggu tak punya uang, bagi seorang tracker, nongkrong di pinggir jalan tentu termasuk bukan pilihan bijak. Yang lebih masuk akal adalah oprek dish. Biar saja tetangga kanan-kiri pada nyinyir dan berpendapat ‘ritual’ utak-atik dish adalah sebagai tindakan kurang kerjaan. Bandingkan pula, kalau mau, dengan kelakuan para penghobi memancing yang rela berpanas-panas ria dengan hasil tangkapan yang kadang atau bahkan sering tak sebanding dengan modal memancing.

Tetapi, ah sudahlah. Tak baik ngomongin orang lain. Mari kita ngomong tentang hal yang kita sama-sama suka; oprek antena parabola.

Jaring NinMedia pada jaring 1

Sepiring berempat: Palapa-D, Telkom-1, Asiasat-7 dan Chinasat-11.

Nah, malam minggu kemarin, saya iseng pasang LNB Ku-band jenis offset ke dish jaring (mesh) 6 feet milik saya. Sudah terpasang di situ tiga LNB C-band (Palapa-D, Telkom-1 dan Asiasat-7). Sasaran tembak LNB Ku-band offset itu adalah satelit Chinasat11 (98.0ºE) tempat nongkrongnya Ninmedia.

Betul, ini bukan murni ide saya. Ini hanyalah pembuktian dari yang pernah dilakukan para tracker lain dan saya berharap saya juga bisa melakukannya. Hehe, kemlinthi ya? Tetapi, ilmu tracking adalah ilmu katon, ilmu yang kasat mata; kalau terus belajar, sabar dan telaten, niscaya siapa pun akan bisa melakukannya.

Karena dish jaring sepiring bertiga milik saya itu terpasang di atap cor rumah dengan ketinggian tiang hanya setengah meter, menjadikan saya bisa dengan gampang menyentuh dan menyetel LNB-nya. Akan beda ceritanya kalau dish jaring itu terpasang dengan tiang tinggi, tentu akan agak sulit menaruh secara pas dan cepat LNB Ku-band untuk nembak Chinasat11.

Jaring satfinder

Dengan satfinder, ritual tracking menjadi lebih simpel.

Baiklah, untuk keperluan memasang LNB Ku-band di dish jaring saya kemarin itu, saya persiapkan satu buah LNB offset merek Matrix MK II, bracket LNB yang saya buat dari plat seng dengan bentuk sedemikian rupa, sebatang pipa kecil sepanjang satu meter, tali kawat dan satfinder. (Tentu, kalau tak ada satfinder, kita bisa memakai reciever dan tv portable. Tetapi, dibanding memakai reciever + tv, dengan hanya menggunakan satfinder, prosesi dan ritual tracking menjadi lebih simpel.)

Mula-mula saya pasang LNB ke bracket sederhana itu, lalu saya ikat pada ujung sebatang pipa dengan konektor mengarah ke kanan. Saya konek kabel dari LNB itu ke satfinder bertanda ‘satellite’, dan untuk daya satfinder saya konek kabel yang dari arah reciever di ruang tamu ke port bertanda ‘reciever’. Oke, satfinder sudah menyala. Lalu saya setting ke transponder Ninmedia di satelit Chinasat11. Ohya, agar tidak lirak-lirik terus ke layar display satfinder, saya setting buzzer pada posisi ON. Sehingga, kalau nanti sinyal terdetek, satfinder akan berdenging. (Tentu, Anda telah tahu yang mesti dilakukan bila tracking menggunakan reciever dan tv portable)

Saya julurkan dari sisi timur LNB itu dengan memegang pipa ke sisi LNB yang untuk Asiasat7. Geser ke kanan, geser ke kiri secara perlahan. Naik pelan-pelan, turun pelan penuh perasaan. Dan, ngiingg…..Oh, satfinder mendenging. Tapi sebentar saja. Saya ulangi ke posisi yang tadi, mendenging lagi, namun ketika saya lirik layar satfinder, sanyal kurang dari 40%. tak masalah. Tinggal setel sedikit lagi. Maka, saya lepas LNB dari pipa, dan saya pasang pada tripod tiang fokus dish di posisi timur. Ya, tripod tiang fokus saya memang satu persis di timur, sehingga saya bisa mengikat LNB Ku-band offset itu di situ. Kalau tripodnya satu tiang persis di barat, ya untuk memasang LNB Ku-band-nya harus membuat bracket dengan model yang bisa dipasang pada lobang bracket LNB C-band sisi timur. Untuk bagaimana bentuknya, bagaimana membuatnya, tentu tak perlu saya menerangkan lebih lanjut. Karena saya yakin Anda lebih paham dari saya.

Jaring Nin pada jaring Prolink

Lumayan, pada reciever Prolink, sinyal luber hingga 90%.

LNB Ku-band telah terpasang, setelah saya naik-turunkan, putar-putar arah konektor, saya mendapatkan sinyal tertinggi yang terbaca di layar satfinder pada angka 74%. Lumayan. Karena biasanya, ketika sudah terkonek ke reciever, angkanya akan bisa naik (atau bisa di bawah angka itu) tetapi tak jauh-jauh amatlah. (Pada Matrix Apple III HD PVR biasanya akan turun, tetapi pada Matrix Prolink HD PVR atau reciever ex OrangeTV akan naik. Maaf, hanya reciever itu yang saya punya, belum punya yang lain. Jadi, barangkali ada yang mau amal jariyah reciever, silakan. Saya tunggu. Hehehe…) *****

NB: Untuk penampakan visual, silakan kunjungi juga: https://www.youtube.com/watch?v=F5ZG-76gZN0

Mendua dengan ABS-2

BELUM reda bisik-bisik di kalangan newbie tentang FreeSat Ninmedia di Chinasat-11 (98.0E) yang memuat channel-channel secara FTA selamanya, muncul kabar anyar mengenai adanya konten siaran yang ditujukan untuk pemirsa Indonesia di satelit ABS-2 pada frekuensi 11165 H 44000. Ini diyakini sebagai pay tv pendatang baru yang sedang melakukan siaran percobaan. Tertera di layar kaca sisi kanan bawah sebagai SMV, yang oleh beberapa teman diduga sebagai SmartVision, juga mengusung puluhan channel yang walau bertanda $ tetapi masih FTA.

Namun, bedanya, bila di Chinasat-11 kontennya adalah lokal semua –beberapa diantaranya sekian lama masih saja Coming Soon–, di ABS-2 selain channel lokal macam BaliTV, TVRI Papua, TVRI Aceh, JakTV, TV9, Aswaja, tvOne, dll (minus MNC grup), ada juga saluran asing macam Al Jazeera, BBC Asia, dll. Bagi yang suka lagu-lagu dengan lirik dan irama khas dari tepian sungai Gangga, jangan khawatir, karena juga ada channel musik India; B4U Music India.

B4U Music ABS2

Yang suka hal-hal yang berbau India, ada channel B4U Mucic India.

Iya, agak tidak salah kalau dibilang yang sedang tayang di siaran percobaan SMV itu adalah perpaduan channel dari Palapa-D, Telkom-1 dan Asiasat7. Plus Outdoor Channel, tentu saja.

Tadinya sih dish saya masih mantap menghadap ke Chinasat-11, eh lama-lama kok ingin mendua juga ya; ada apa sih di ABS-2? Makanya, hari Minggu kemarin, mumpung libur, saya tracking si ABS-2 itu.

Chinasat11 vs  ABS2 - 1

Posisi dish saat menghadap Chinasat-11.

Chinasat11 vs  AB2- 2

Posisi dish ketika ‘nembak’ ABS-2

Karena letak ABS-2 ada di 75.0E, maka di TKP saya (baca: Surabaya) beda sekali dengan Chinasat-11. Kalau Chinasat-11 arahnya barat agak serong ke utara, posisi dish saat pointing ke ABS-2 lebih ke arah barat tepat. Perhatikan gambar yang saya ambil dari sudut yang sama, dan bandingkan dengan foto saat dish menghadap Chinasat-11.

Nah, walau dikabarkan beam ABS-2 ini menjangkau seluruh wilayah NKRI, kalau kita yang di Indonesia Barat saja harus menghadapkan dish dalam posisi begitu, bagaimana saudara kita yang di Indonesia Tengah atau Indonesia Timur ya? Bisa nungging banget dong….*****

Satu Lagi Televisi NU

SELAIN yang selama ini ditonton via terestrial maupun satelit, TV9 dan Aswaja Channel, akan lahir satu lagi media audio-visual (baca: televisi). TV9 yang merupakan metamorfosis dari PasTV (Pasuruan) yang kemudian boyongan ke Surabaya, setelah bersiaran secara lokal di jalur UHF untuk area Surabaya (juga Jatim), lalu meluaskan jangkauannya menjadi ke semua wilayah yang masuk beam satelit Telkom-1, ia menyebut dirinya sebagai TV9 Nusantara. Sementara yang AswajaTV mengudara via satelit Palapa-D.

nu channel

Penampakan NU Channel di Satelit Chinasat-11

Nah, yang terbaru adalah NU Channel. Bila dua yang disebut pertama tadi tidak memakai nama NU walau sejatinya adalah NU, channel terbaru ini secara terang benderang memakai nama NU; Nahdlatul Ulama Channel. Tidak di Palapa-D atau Telkom-1, si bungsu ini mengudara via satelit Chinasat-11. Dengan akan masuknya NU Channel di satelit yang mengorbit pada posisi 98.0*E itu, menjadikan konten religius akan bertambah satu satu lagi. Yakni setelah Qur’an TV (yang berisi siaran langsung 24 jam non stop dari Masjidil Haram), dan siaran DMI (Dewan Masjid Indonesia).

Dengan demikian, warga NU di seantero Indonesia bisa menyaksikan siaran itu dengan memanfaatkan dish/parabola type offset (ex pay TV) untuk mendapatkan siaran NU Channel. Ya, bila TV9 dan Aswaja Channel mengudara via jalur C-band, NU Channel ini bermain di Ku-band.

Selamat mengudara NU Channel, dan bagi Anda warga nahdliyin yang ingin menonton konten NU Channel, selamat tracking satelit Chinasat-11 pada freq. 12500, SR 43200, polarisasi Vertikal. Ohya, satu hal lagi yang penting, sebagaimana TV9 dan Aswaja Channel yang mengudara secara FTA (Free to Air), NU Channel ini juga bisa dinikmati tanpa membayar biaya bulanan alias gratis.****

Tracking Chinasat-11

Dish ex Orange dipoto dari Utara

Dish ex OrangeTV untuk menembak Chinasat-11 dipotret dari utara.

SEBAGAI Tracker Anyaran alias newbie, di saat banyak kawan forsat ngomongin satelit Chinasat-11 yang berisi siaran televisi lokal Indonesia dan (masih?) FTA, ikut penasaran juga saya akhirnya. Berbekal dish lengkap dengan LNB ex OrangeTV, Minggu pagi kemarin saya tracking satelit yang mengorbit pada posisi 98° E itu.

Tetapi, karena kondisi dish bekas itu sudah karatan, sebelumnya saya cat dulu menggunakan cat anti karat / zyncromat. Tidak di-spray, tetapi pakai kuas biasa. Setelah semua siap, saya pasang dish itu pada tiang yang sebelumnya sudah saya siapkan. Berbekal satfinder, menjadikan saya tak perlu lagi membawa reciever dan pesawat televisi portable saat tracking.

SQ Chinasat11 dari Matrix Prolink

SQ luber di-scan pakai Mtarix Prolink HD PVR

Jujur, ini pengalaman pertama saya tracking sinyal Ku band. Tetapi, karena sebelumnya saya sudah membaca di forum-forum persatelitan tentang satelit Chinasat-11 dan kemana dish harus dihadapkan, menjadikan saya tak buta-buta amatlah.

Iya, sesuai yang pernah saya baca, arah dish saat menembak Chinasat-11 dari Surabaya ini adalah barat agak serong sedikit ke utara. Atau, arah antara jam 10-11-lah. Nah, sambil mengarahkan dish ke titik yang dimaksud, saya tak perlu melihat layar display satfinder, karena pada menu find satellite sudah saya setting pada satelit tersebut sekaligus sudah saya masukkan frekuensi 12500 V 43200. Setelah beberapa saat ‘goyang dumang’, ada bunyi melengking dari satfinder saya. Itu tandanya sinyal yang saya scan sudah nyangkut. Tinggal mengepaskan saja, tinggal memaksimalkan saja. Saya turun dari atap setelah saya mendapat SQ maksimal yang mampu saya lock, yakni 73% untuk Strenght, dan 75% untuk Quality.

PopularTV on Chinasat11

Yang bening-bening ada di channel ini. Scan pakai reciever Matrix Apple III HD PVR.

 

Nah, begitu saya scan memakai reciever Matrix Prolink HD RVR milik saya, ternyata joss-gandos hasilnya. Berhasil sudah saya nembak setelit Chinasat-11. Lumayanlah, walau gambarnya agak buram, dengan menggunakan DiSeqC 4×1, saya bisa menambah koleksi channel yang sebelumnya sudah saya dapatkan dari Palapa-D, Telkom-1, Asiasat-7 dan tentu saja juga melalui antena UHF biasa.. *****

Hilang di Palapa-D, di Telkom-1 NET Hadir HD

Net Media Zonk di Palapa

Di Palapa, Net Media kini tiada.

LAMA tidak lihat NET via satelit, tiba-tiba awal Maret kemarin, saat saya menghidupkan reciever dan sedang ingin nonton stasiun bikinan Wishnutama itu sudah zonk di frekuensi 4006 V 6400 satelit Palapa-D. Apakah sedang ada gangguan teknis? Rasanya tidak. Ia hilang tanpa jejak, tanpa meninggalkan colorbar. Lain halnya dengan BloombergTV Indonesia yang walau sudah hampir setahun tak mengudara, tetapi masih terdetek di layar dalam gambar diam bertanggal 26 Agustus 2015. Sementara, masih di satelit Palapa-D, NHK dan N3WS entah sedang kenapa, sehingga beberapa waktu ini channelnya hanya berisi warna pelangi.

Kembali ke NET., ternyata oh ternyata, ia hijrah ke satelit Telkom-1. Kepindahan stasiun televisi yang hadir dengan mengakuisisi kanal analog terrestrial milik televisi anak SpaceToon ini patut dicermati. Salah satunya adalah berkait dengan umur satelit Telkom-1 yang konon sekarang sedang masuk masa injury time, sementara satelit pengganti belum terdengar kabarnya. Kabar yang terdengar malah BRISat (satelit milik Bank BRI) yang akan mengorbit pertengahan tahun ini. Tentang apakah BRISat transpondernya hanya dikhususkan untuk aktifitas perbankan atau juga disewakan untuk layanan televisi, kita tunggu saja nanti.

NET SD

Penampakan NET di Telkom-1.

Kepindahan NET. ke Telkom-1 adalah kebalikan dari JTV yang malah hengkang dari Telkom-1 ke Palapa-D. Dengan demikian, kini, di Telkom-1, konten FTA-nya lebih ‘bermutu’. Selain ada antv dan duo Trans (TransTV dan Trans|7), NET melengkapinya dengan tayangan hiburan yang lumayan variatif dan cenderung segar. Bahkan kehadiran NET disitu tidak hanya berformat SD (frek. 4135 H 6400) namun makin cling dengan format HD (frek. 4128 H 3000).

Sebagai televisi pendatang baru, munculnya NET HD di kanal FTA tentu patut diapresiasi. Karena, TransTV saja (stasiun televisi yang salah satunya lewat tangan kreatif Wishnutama dulu hadir sebagai trend setter dengan acara-acara bagus), walau di channel list tertulis HD, ternyata masih SD. Kalau demikian, tidak berlebihan kiranya NET memasang kalimat Televisi Masa Kini sebagai tagline-nya.

Bagaimana pendapat Anda? *****

Inspirasi Acara Televisi

SEMAKIN banyaknya saluran televisi, memberi banyak pilihan kepada pemirsa. Dari acara sinetron (yang sekalipun kadang tidak membumi dan kisahnya bertele-tele) yang sayangnya tak pernah kehabisan penonton, tayangan impor dari India dan Turki yang menjadi anadalan antv, debat (kusir) politikus di kanal berita atau kartun yang tayang berulang-ulang di kanal lain. Pendek kata; semua ada, walau beberapa acara di antaranya –boleh jadi– tak layak tonton.

Baiklah, mari kita persempit bahasan pada acara talk show saja. Dan kalau tidak keberatan, mari dipersempit lagi kepada talk show yang bukan sekadar cengengas-cengenges. Saya bukan orang yang selalu menghabiskan sebagian besar waktu di depan layar kaca sehingga (harap maklum) kalau hanya tahu beberapa.

Inspirasi TV

Salah satu acara Talk Show di televisi. (Foto: ewe)

Di KompasTV dulu ada acara Mata Hati. Sebuah talk show yang dipandu Kang Maman. Ini acara bagus, menurut saya. Mengorek keterangan nara sumber dengan dialog yang natural sekali. Ia, perkiraan saya, seperti nama acaranya, berkonsep perbincangan dari hati ke hati. Sekarang saya kurang tahu, apakah acara itu masih ada di KompasTV atau sudah tidak ada lagi. Yang saya tahu, Kang Maman sekarang rutin hadir di acara ILK (Indonesia Lawak Klub) sebagai No Tulen.

tvOne punya Satu Jam Lebih Dekat… dengan Indi Rachmawati sebagai pemandunya. Tentu teh Indi lebih pas membawakan acara ini ketimbang Muhammad Rizky yang kalau menanyai nara sumber bikin teman saya benci sekali kepada presenter jebolan TransTV itu.

MetroTV antara lain punya Mata Najwa dan juga Kick Andy. Sayang sekali sampai sekarang belum sempat nonton penampilan Andy F. Noya di program Big Bang-nya KompasTV. Tetapi, sepertinya, nama Andy Noya sudah bisa dijadikan jaminan akan mutu sebuah talk show.

Sekarang BeritaSatu.
Dengan mengajak semua nara sumber berdiri di sepanjang acara, saya sering merasa kasihan pada mereka saat menonton acara The Headlines yang dipandu Nunung Setiyani dan Don Bosco Selamun itu. Mungkin ini sebagai pembeda dari acara serupa di televisi lain. Tetapi dengan berdiri, oh saya khawatir mereka bisa kesemutan.

Sebagai Pemred BeritaSatu, Don Bosco pegang pula acara talk show yang lumayan bagus menurut saya; To The Point. Dan belakangan saya baru tahu satu lagi acara talk show di BeritaSatu, DK Show dengan host Donny de Keizer. (uh, maaf kalau saya salah tulis nama).

Talk show bermutu, bisa menjadi penawar dari sekian banyak acara televisi yang tidak mencerdaskan. Talk show yang bagus, menurut saya, harus bisa menebar inspirasi, bukan hantam kanan-kiri sebagaimana debat para politisi yang dipandu Mohammad Rizky. *****

Duo Trans Hadir HD

“UNTUK daerah saya semua sudah HD, Pak,” kata seorang kawan dari Malang. “Iya, tapi HD-nya: Hitam Doang,” lanjutnya, saya bayangkan ia sambil terkekeh ketika menulis komentar itu.

Itu saya pahami sebagai kabar kurang bagus, dan sudah seyogyanyalah saya yang tinggal di area Surabaya ini memanjatkan syukur karena yang HD bukan hanya ‘hitam doang’ tetapi benar-benar High Definition. Tetapi, kabar bagus di Surabaya ini tidak bagus-bagus amat sih. Karena, “Kalau di Surabaya ini,” balas saya kepada teman asal Malang yang bernasib agak malang itu, “siaran televisi digital perkembangannya makin menguat. Maksud saya; menguatirkan,” canda saya.

TransTV HDBagaimana tidak mengkhawatirkan, coba. Dari sekian MUX yang harusnya mengudara di Surabaya ini, saat tadi malam saya scan, cuma tinggal dua saja yang on air. TransMedia (ch. 27/522 Mhz) dan TVRI (ch. 35/568 Mhz). Itu saja. Selebihnya, channel 23 (MUX Viva), ch. 25 (MetroTV), ch 29 (Emtek), dan ch 41 (MNC) sudah tidak tampak lagi batang sinyalnya. Yang terakhir menghilang ya si Metro itu. Kalau yang lainnya sih sepertinya sudah makin nyenyak saja tidurnya.

Trans7 HDSi TVRI pun belakangan ini sedang mengalami gangguan. Antara gambar dan suara tidak singkron, sementara TVRI-3 dan TVRI-4 sudah beberapa kali saya intip cuma memajang colorbar saja. Makanya, hadirnya duo Trans di akhir Desember ini dengan tampilan HD, saya maknai saja sebagai kado akhir tahun. Tetapi, apakah itu cuma sebatas uji coba (untuk kemudian menghilang seperti CNN Indonesia di MUX TransMedia) atau akan ‘sekali di udara tetap di udara’, kita tunggu saja. *****

Mempertahankan Tembang Kenangan

MEDIA FM yang mengudara via frekuensi 90,1 Mhz, siapa orang Surabaya dan sekitarnya yang tak mengenalnya. Wabil khusus orang yang gemar lagu-lagu jadul Indonesia. Ohya, benar, selain mempunyai slot panjang untuk program tembang kenangan, radio yang termasuk grup Suzana ini juga memutar acara Campursari di malam hari.

80an TVRISelain MediaFM, ada juga radio MTBFM yang mempunyai program serupa, tajuknya (sebagimana nama acara lain di MTB yang digathuk-gathuk-kan dengan singkatan MTB) Musik Tempo Baheula. Kalau tidak salah RRI Surabaya pun punya acara serupa. Dan sesekali, dalam program Memorabilia, SSFM pun memutar lagu lama Indonesia walau Mas Iman, si pembawa acara tersebut, lebih sering memutar tembang lawas manca negara macam Beatles dan sejenisnya.

Musik dan penyanyi ada banyak sekali, dan setiap masa punya idolanya sendiri. Celakanya, ada kuping yang tidak gampang gandrung akan musik kekinian yang gedebag-gedebug dengan penyanyi yang gampang sekali tertelan zaman. Lalu muncul  yang lain lagi dengan nasib yang tak jauh beda; cepat hilang. Pada sisi lain, masih ada kuping yang tetap lebih nyaman mendengar aluman musik lawas dengan penyanyi lama. Inilah yang dibidik beberapa radio yang saya sebut di atas sebagai segmennya. Bahwa, penggemar musik 80an, sekadar contoh, masih ada.

Bagaimana dengan televisi?
MetroTV pernah punya acara Zona-80 dengan pembawa acara Sys NS dan berpasangan dengan… (waduh lupa saya siapa dia). Sampai disini, saya tak tahu stasiun televisi mana lagi yang punya acara serupa. Tentu saja selain TVRI. Ohya, ada NET yang memboyong acara Berpacu Dalam Melodi yang sempat melegenda di TVRI. Tetapi, di layar NET, acara yang identik dengan Koes Hendratmo dan Ireng Laulana Old Stars itu menjadi semacam Gita Remaja. Lagu-lagunya kurang tua, dan cenderung terkesan menyasar segmen usia 30 tahun ke bawah.

Mengejar ketertinggalan (acara) dari televisi swasta yang larinya kencang sekali, tentu akan membuat TVRI kedodoran. Lagian, antara TVRI dan televisi swasta secara maqom sudah berbeda. Melihatnya harus begitu. Tidak kudu yang ada di RCTI atau SCTV, sebagai misal, si TVRI harus pula membuat acara serupa. Biarlah yang lain memproduksi acara yang kadang berupa ‘sampah’ (iya, acara tidak bermutu tetapi –herannya– disukai banyak orang itu), TVRI harus tetap lurus dan membuat acara yang membumi. Bukan menjual mimpi sebagaimana sinetron-sinetron yang harusnya tak layak tonton itu.

Tembang Kenangan, atau apa pun namanya itu, bisalah kalau dijadikan salah satu andalan acara TVRI. Segmennya jelas dan masih ada, program ini layak dipertahankan di saat televisi swasta kurang berminat membuatnya.

Bagaimana pendapat Anda? *****

Habis KompasTV, Terbitlah Trans|7 HD

trans7 HD

Trans|7 HD terpantau di televisi saya yang masih tabung. Altem: STB Merek PF-209. (Foto: ewe)

BAGAIMANA kabar tv digital? Bagaimana kabar STB Anda? Masih aman di kardusnya. Baik, itu lebih baik. Iya, channel yang ada belum bertambah, MUX yang on air juga belum berubah. Ya, begini ini nasib kalau kita sudah beli STB dan konten siaran yang ada juga masih itu-itu saja (yang masih juga bisa disaksikan di jalur analog). Kalau Surabaya saja sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta saja masih begini, bagaimana nasib siaran tv digital di kota yang lebih kecil ya?

Kemarin, secara iseng saya menghidupkan STB yang sudah sekian lama menganggur dan, oh ada perubahan ini. Trans|7 sudah HD. Iya sih, di Jakarta (juga Jogja?) pernah saya baca memang sudah HD, tetapi di Surabaya ini baru sekarang saya tahu. Sejak kapan ya?

“Sejak ultah TransMedia kemarin,” jawab seorang teman ketika gambar layar Trans|7 itu saya pampang di akun Facebook.

“Lha, tapi sakarang KompasTV tidak ada lagi di MUX TransMedia 522 MHz. Kenapa ?”

“Memang begitu itu, Kang,” seorang teman saya menjelaskan, “siaran HD itu butuh bandwitch yang gede, jadi ada siaran yang mesti dikorbankan.”

Saya yang memang awam akan hal ini cuma manggut-manggut saja diterangkan begitu. Tetapi, “Tentang KompasTV yang menghilang dari MUX TransMedia ada cerita tersendiri,” teman yang lain, yang juga pengamat televisi, menimpali.

Saya tak menguberkan tentang ada cerita apa di balik hengkangnya KompasTV dari MUX TransMedia, dan lebih menunggu saja si teman tadi itu meposting ulasan mengenai hal itu di blognya. (Sungguh saya tunggu lho, Dave…) *****

GlobalTV, Rusia vs Turki dan Kasus Setnov

DUA tetangga berjarak satu rumah di barat rumah saya meninggikan rumahnya menjadi dua lantai. Syukur alhamdulillah rezeki mereka berlimpah sehingga mampu membangun rumah lebih megah. Alhamdulilllahnya lagi, karenanya saya tak mungkin lagi main-main menembak Thaicom-5 untuk keluyuran menengok ‘kebun kates’ di satelit itu. Walau saya menjadi kurang bersyukur juga karena antena UHF saya ikutan terhalang tembok tinggi mereka.

Beberapa channel UHF menjadi kurang cling, tetapi masih bisa beralih ke Palapa-D atau Tekom-1 demi menyaksikan semua saluran televisi nasional. Kecuali GlobalTV (yang dua minggu ini sinyalnya pelit sekali) tempat Naruto beraksi mulai menjelang maghrib sampai hendak Isya’. Begitulah, jam segitu lazim dibilang jam utama, prime time. Prime time pula untuk melakukan hal yang lebih bermakna; menemani anak-anak belajar atau mengaji. Tetapi televisi menohok siapapun di jam berapapun dengan tayangan semau mereka dengan tanpa ampun. Pemirsa tak punya kuasa lebih besar kecuali meraih remote control dan mematikannya. Baca lebih lanjut

Ultah MNCTV tanpa Kejutan

MALAM ini MNCTV berultah dengan mengusung tema Kilau Raya 24. Jujur, saya menantikan acara ini. Lebih jujur lagi; saya cuma pingin nonton Iwan Fals menyanyi. Maaf, untuk pertunjukan Bang Haji dan Sonetanya atau penyanyi lainnya macam Syahrini sampai JKT48, saya tak berniat melihatnya.

Jadinya saya cuma menikmati Bang Iwan sambil ikutan menyanyi lagu Pesawat Tempur, juga Bongkar.

Terlepas dari semua itu, bagi saya, konser ultah MNCTV tak begitu istimewa. Biasa banget. Tadinya, saya beharap ada kejutan; munculnya colorbar TPI 37 UHF
seperti beberapa hari yang lalu. Sekalipun colorbar itu hanya muncul di Jakarta tidak apa-apa. Paling tidak, yang selama ini didesas-desuskan bahwa TPI bakal come back bukan isapan jempol. Ternyata tidak.

Ataukah pemirsa harus menunggu sementara waktu yang akan terjadi kemudian. Tetap begini-begini saja (baca: MNCTV ngotot sebagai yang legal), atau si HT secara legawa dalam waktu dekat menyerahkan MNCTV kepada pemilik sah TPI, Mbak Tutut. *****

Update Siaran TV Digital di Surabaya

Update Scan

Scan pakai STB merek PF-209 dan antena Titis TS-1000 dengan kabel coaxial merek Belden RG6.

CNN Indonesia mengudara di MUX TransCorp.

TANGGAL 6 Oktober , MUX yang mengudara adalah:
-506 MHz/Ch. 25 MetroTV, (berisi MetroTV, BBSTV (yang akan segera berganti nama menjadi biostv) dan beberapa slot kosong)
-522MHz/Ch. 27 TransCorp  (berisi konten TransTV, Trans|7 dan CNN Indonesia).
-586 MHz/Ch. 35 TVRI (berisi TVRI Nasional, TVRI Jatim1, TVRI Jatim2, TVRI_HD, TVRI_3, TVRI_4)

CNN Indonesia menghilang dari udara.

BEBERAPA saat sebelum meng-update tulisan ini, hari ini (Minggu pagi, 8 November 2015) saya melakukan scan secara auto dan mendapatkan hasil sebagai berikut;

MUX MetroTV (506MHz/Ch 25) tetap mengudara tetapi konten BBSTV/biostv hanya muncul audionya saja, video nihil.

Pada MUX 522MHz/Ch. 27 milik TransCorp, yang masih nampak adalah TransTV, Trans|7 dan KompasTV. Sedangkan CNN Indonesia cling; menghilang.
Untuk MUX TVRI; kondisi masih sama. Namun untuk siaran TVRI3 dan TVRI 4 hanya muncul layar biru dengan logo TVRI 3 dan TVRI4. Masih kepagian saat saya scan dan memang belum on air atau konten itu sedang juga istirahat siaran, saya kurang tahu.
Silakan ditambahkan bila Anda punya info lebih lengkap.

Rezeki Ganti Frekuensi

Indosiar MPEG2 frekuensi lama; zonk

Indosiar MPEG2 frekuensi lama; zonk

TERHITUNG sejak tanggal 1 Oktober kemarin, frekuensi SCTV dan Indosiar MPEG2 di satelit Palapa-D berganti. Dan pemberitahuan tentang hal ini sudah beberapa waktu lamanya muncul sebagai runing text di layar SCTV dan Indosiar (Mpeg2/3747H6250). Tetapi, bisa jadi, ada saja yang kurang memerhatikan dan baru merasa ‘kehilangan jejak’ saat kemarin tiba-tiba tayangan kesayangan di SCTV dan Indosiar mendadak zonk.

Iya sih, bagi yang paham, tentu tinggal memasukkan transponder (TP) baru sesuai pemberitahuan (3998 H 8500), lalu scan: cling. Walau, dari beberapa komentar yang muncul di grup socmed, ada juga yang sekalipun sudah di-scan ulang dan ke-detect, pas

Sinyal O Channel di MPEG4 lebih 'tegang'.

Sinyal O Channel di MPEG4 lebih ‘tegang’.

disimpan tidak mau. Solusinya, dari diskusi yang saya intip itu, buang dulu TP lama dari reciever, baru TP baru bisa di-save. Atau kalau tak mau memasukkan transponder secara manual, langsung saja blind scan.

Walau hanya 37%, Indosiar MPEG2 frekuensi baru, yang penting cling

Walau hanya 37%, Indosiar MPEG2 frekuensi baru, yang penting cling

Kebetulan, dengan hanya masukkan TP baru, siaran SCTV dan Indosiar MPEG2 yang baru langsung diterima televisi saya dengan cling. Plus, sebagai bonus, O Channel yang biasanya hanya muncul di MPEG4, sejak kemarin ia termasuk dalam content frekuensi 3998 H 8500.

Perubahan frekuensi sebuah siaran televisi satelit, bisa jadi menjadi rezeki tambahan bagi seorang tracker. “Ya lumayanlah, dapat kopi, rokok dan duapuluh ribu,” tulis seorang tracker pada wall grup persatelitan di laman Efbi.

Karenanya, untuk menambah isi dompet, pergantian frekuensi adalah sesuatu yang dinanti. Doa lanjutannya adalah; semoga frekuensi baru sinyalnya pelit. Sehingga, untuk

Oh, di frekuensi MPEG2 baru juga ada O Channel

Oh, di frekuensi MPEG2 baru juga ada O Channel

mendapatkannya, tidak hanya scan, tetapi harus naik ke atap oprek dish. Semakin lama waktu yang dibutuhkan, secara ekonomi, menarik ongkos lebih dari 20 ribu tentu adalah hal wajar. Yang tidak wajar adalah, memanfaatkan ketidaktahuan orang, dengan berlama-lama dan berlagak sulit mengunci sinyal (padahal hanya dengan memasukkan frekuensi baru sudah langsung cling) demi hanya agar mendapat ongkos lebih. *****

Wuzz, pakai reciever Matrix Apple III cuma mentok 37%, saat saya coba scan menggunakan reciever eks OrangeTV tembus 95%. Ini rx yang peka atau SG yang 'mbujuki'?

Wuzz, pakai reciever Matrix Apple III HD-PVR cuma mentok 37%, saat saya coba scan menggunakan reciever eks OrangeTV sinyal tembus 95%. Ini tuner rx yang peka atau SQ yang ‘mbujuki’ ya?

Tracker Satelit: Pemburu Sinyal dan Rezeki

Mas Imron bersiap memasang dish. Karena disitu telah ada bekas tiang Indovision, maka tak perlu pasang tiang baru.

11.47 WIB: Mas Imron bersiap memasang dish. Karena disitu telah ada bekas tiang Indovision, maka tak perlu pasang tiang baru.

IMRON (27 tahun) sebelumnya tidak punya pengalaman sama sekali di bidang listrik atau elektronika. Bertahun-tahun bekerja sebagai buruh pabrik, ketika ada lowongan kerja sebagai installer/teknisi parabola sebuah pay tv, ia mencoba keberuntungan.

“Ya, nekat saja,” ungkapnya tentang modal yang ia andalkan.

Nah, saat yang dinantikan datang. Ia dipanggil untuk tes interview. “Saat ditanya tentang pengalaman di bidang parabola, jujur saya katakan tidak punya. ‘Saya katakan, tentu semua orang berawal dari tidak bisa. Dan belajar adalah cara untuk bisa’, begitu prinsip saya. Eh, tidak lama kemudian saya dipanggil lagi. Diterima,” katanya sambil tersenyum.

Tahap pemasangan LNB.

Tahap pemasangan LNB.

Diawali dengan harus mengikuti program diklat selama dua minggu (seminggu teori dan seminggu praktek), Imron melahap materi dengan antusias. Hasilnya; belum genap sepuluh hari ia ia sudah menantang mengajukan diri memasang di rumah pelanggan. “Sebagai orang baru, sesuai prosedur, awalnya saya masih harus didampingi. Setelahnya, ya sudah berani sendiri. Lagian, kalau niat, belajar tracking satelit pay tv itu sehari juga bisa,” paparnya.

Lima bulan sudah ia kini bekerja sebagai teknisi parabola sebuah pay tv milik grup media besar di Indonesia ini. Sebagai karyawan kantor Cabang Surabaya, cakupan arena kerjanya lumayan luas; mulai Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan hingga Mojokerto.

Ayah satu balita ini menambahkan, hal yang membuatnya kerasan bekerja di bidang ini adalah pengupahan yang bersistem poin. Semakin besar poin yang didapat pada tiap bulan, gaji yang dierima terbilang lumayan. “Ya, di atas UMK-lah,” akunya. “Malah kalau kita pas menangani pelanggan yang ‘manis’, untuk biaya rokok, makan dan bensin kita ambil dari uang tip dan gak sampai mengurangi nilai gaji. Gaji bisa utuh untuk keluarga.”

Cek sinyal pakai 'jimat' bernama Satellite Finder.

Cek sinyal pakai ‘jimat’ bernama Satellite Finder.

Dengan membawa dua-tiga set antena parabola jenis offset dalam sekali berangkat tugas, ditambah satu tas peralatan berisi kunci, mesin bor, LNB, kabel coaxial dan tentu saja satellite finder, lelaki asal Rembang Jawa Tengah ini terlihat agak terlalu membebani motornya. Ditambah dalam bekerja harus tahan panas (karena antena dipasang di ketinggian dan harus tiada terhalang benda apa pun agar sinyal satelit tertangkap sempurna), plus perjalanan jauh berjarak berpuluh-puluh kilometer ke luar kota demi pelanggan yang sedang mengalami gangguan pada sinyal televisinya, adalah ‘makanan sehari-hari’. “Kalau pelanggan puas dengan kerja kita dan kasih sekadar uang rokok ya alhamdulillah, tak dikasih pun tak apa-apa. Namanya juga memang sudah tuntutan kerja,” ungkap Imron.

Sinyal didapat maksimal, saatnya kencangkan baut-baut. (Foto-foto: ewe)

12.07 WIB: Sinyal didapat maksimal, saatnya kencangkan baut-baut. (Foto-foto: Edi W.)

Namun seperti pencari nafkah sejati yang lain di bidang apa pun, Imron membuang jauh kosakata mengeluh dari kamus hidupnya. Karena keluh kesah hanya akan membuat sebuah semangat menjadi rapuh dan gampang patah. *****

CNN Indonesia Mengudara FTA di Surabaya

AGAK terlambat saya tahu kalau CNN Indonesia telah mengudara secara FTA di Surabaya. Kalau kabar dari Jakarta sih sudah beberapa waktu yang lalu, walau awalnya, dengan masuknya konten CNNID pada MUX TransCorp membuat KompasTV terdepak. Nah apakah sekarang si Kompas sudah balik pada MUX TransCorp di wilayah Zona 4 (Jakarta-Banten), saya belum tahu.

“Bagaimana, apa KompasTV pada siaran digital di Surabaya hilang dengan masuknya CNN?” tanya saya pada seorang teman.

signal cnn

Penampakan kualitas signal MUX TransCorp di Surabaya. (Altem: STB PF-209, antena Titis TS-1000 dan kabel coaxial merek Belden) Foto: dok Pribadi.

Dan jawaban pasti telah saya dapatkan saat scan ulang pada set top box saya yang sudah sekian lama menganggur (karena saya lebih sering menembak sinyal dari langit, pakai jamur), yakni: KompasTV tetap ada walau CNNID telah mengudara. Nah, dengan demikian, saat saya membuat tulisan ini, MUX di Surabaya yang mengudara ada tiga:

1. 506 Mhz/Ch. 25: MetroTV dan BBSTV
2. 522 Mhz/Ch. 27: TransTV, Trans|7, CNN Indonesia, KompasTV.
3. 586 Mhz/Ch. 35: TVRI Nasional, TVRI 3, TVRI 4, TVRI Jatim, TVRI Pro2.
CNN sebagai stasiun televisi berita siapa yang tidak mengenalnya. Sekarang, dengan hadirnya ia di kanal digital, harusnya membuat beberapa kemungkinan. Pertama, MUX lain yang juga ada content beritanya (490 Mhz/Ch. 23 : tvOne dan antv) harusnya segera bangkit dari istrirahat panjangnya. Begitu juga dengan MUX milik Emtek dan MNC. Kedua, penjualan set top box atau televisi baru yang sudah include tunner DVB-T2 akan kembali bergairah.

Namun orang kini sudah jeli dan agak susah di-PHP, sehingga kemunculan CNN Indonesia yang bisa dinikmati tanpa berlangganan pay tv dan cukup pakai antena biasa pun masih perlu dilihat lebih lanjut. Untuk sementara atau hanya semacam siaran uji coba lalu mak cling, hilang lagi. Iya to. Bukankah, kabarnya, payung hukum tentang siaran televisi digital belum klir benar. Jangan sampai demi bisa melihat CNN (yang dalam promonya dibilang sebagai ‘televisi berita kelas dunia berbahasa Indonesia’) lalu dibela-belain beli STB, eh sebulan lagi MUX TransCorp kembali mati suri.

alvian raharjo

Banyak wajah penyiar yang sudah familiar sekarang pada hijrah ke CNN. Foto: ewe

Hidup adalah pilihan, dan tidak melihat CNN pun tidak apa-apa. Jujur, saya belum terlalu intim dengan CNN. Kalaulah saya nonton, paling-paling sekadar ingin tahu siapa saja sih yang boyongan kesitu. Eh, ternyata buanyak sekali. Mulai Santa Curanggana, Desi Anwar, Alvito Deanova, Indra Maulana, Putri Ayuningtyas, Frida Lidwina, Prabu Revolusi, Eva Ynuzar dll. Melihat ini, seorang teman melontar komentar, “CNN Indonesia adalah hidangan dengan citarasa MetroTVOne.” *****

Faktor Konektor

trans vision (ilustrasi)

Tracking TransVision pakai dish 16 feet. (Foto: Dok. Pribadi)

NANTI jam sebelas ada orang Transvision datang, tolong ditemani ya,” lelaki India yang gila bola itu berkata.

Tetapi jam sebelas berlalu sementara yang ditunggu belum datang, dan baru muncul batang hidungnya jam tiga sore. Padahal sesuai schedule kerja, saya mesti pulang jam empat, sedangkan urusan mencari sinyal siaran televisi satelit adalah hal yang kadang melenceng dari prediksi.

Tanpa buang waktu saya langsung mengantar teknisi Transvision itu ke top roof, lantai tertinggi gedung ini, tempat sekian banyak antena (parabola) diletakkan.

“Yang itu,” saya menunjuk dish mesh merek Paramount buatan PT Gapura Agung ukuran 16 feet.

Sebagai teknisi yang biasanya hanya menangani dish offset ukuran kecil, saya maklum ketika beberapa saat ia membiarkan mulutnya hanya menganga. Kabel yang menjuntai kurang tertata seperli lidah ular yang keluar dari dua LNB polarisasi H dan V terpisah, melihat keningnya berkerut saya anggap adalah hal wajar.

“Yang itu,” saya mengulang kata, kali ini sambil menunjuk LNB, “yang sebelah timur itu untuk Asiasat7. Maklum, orang India,” saya berkata sambil menduga ia tahu tentang konten siaran di satelit Asiasat7 memang acara India-nya buanyak sekali.

“Baru kali ini saya menangani dish sebesar ini,” katanya dengan mimik laiknya anak kelas dua SD dihadapkan pada soal ujian anak kelas enam.

Agar ia tidak bengong saja begitu, saya tunjukkan saja celah agar ia bisa berdiri tepat di tengah dish lalu menggoyang LNB yang untuk Telkom tempat transponder Transvision C band bercokol. Pendek cerita, setelah menggoyang LNB dan melihat pada satellite finder SQ sudah menyentuh angka 81%, turunlah kami ke lantai 22, tempat si tuan India itu tinggal.

Konektor, kecil-kecil bikin eror.

Sial, sinyal yang di atas terbaca 81%, pada layar kaca si India tetap loncat-loncat dari 56%-0%. Kami naik lagi, utak-atik lagi, dan sial lagi.

Kalau semboyan petugas PMK adalah Pantang Pulang Sebelum Padam, bagi tracker sejati prinsipnya adalah Pantang Pulang Sebelum Cling. Demi tak menyalahi ikrar itu, kami naik lagi, oprek LNB lagi. Syukurlah, tak sia-sia naik turun dish; pada layar satellite finder merek Skybox sinyal kedetek nambah menjadi 95%!

Beres?
Belum. Karena saat kami cek pakai televisi, SQ malah zonk, kosong, 0%. Aduh biyunggg…

“Cek konektornya,” saya usulkan, dan daripada tanggung, diganti saja sekalian. Bukan hanya yang di pantat reciever, tetapi sekaligus juga yang di atas, yang menancap pada multi switch.

“Ini jurus terakhir,” kata si teknisi, “kalau masih gelap, saya angkat tangan lalu langsung pamit angkat kaki. Biar besok ditangani teman lain yang lebih senior,” terdengar setengah putus asa nada bicaranya.

Agak deg-degan saat kami menuju ruang tamu si India (mantan pelanggan OrangeTV yang migrasi ke Transvision demi mengejar tayangan liga sepak bola.kelas dunia), takut jangan-jangan zonk lagi. Tetapi, “Yes!,” sorak kami dalam hati begitu mendapati SQ anteng pada angka 95%!

Naik-turun berkali-kali, utak-atik LNB sana-sini, eh ternyata faktor utama yang bikin eror cuma konektor. *****